OPINI - Ada kesan di masyarakat, KPK seperti lembaga sandera. KPK dianggap menyandera sejumlah politisi. Mereka yang tidak loyal, jadi tersangka. Yang loyal, dibiarkan meski layak jadi tersangka.
Kasus kardus duren, e-KTP, impor garam, dan sejumlah kasus lainnya yang diduga melibatkan beberapa elit partai disimpan untuk kemudian dikeluarkan ketika elit partai itu mulai tidak loyal kepada penguasa. Kesan ini begitu kuat di memori publik.
Baca juga:
Tony Rosyid: Presiden Harus Lugas!
|
Pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR), bahkan rencana menggabungkan dua koalisi tersebut dianggap bagian dari konsolidasi berbasis penyanderaan. Siapa yang tidak loyal, kasusnya mulai dimunculkan.
Ketika rencana koalisi besar itu muncul, PKB merespon kurang positif. PKB mengatakan bahwa koalisi besar sulit terwujud ketika akan menentukan pasangan capres-cawapres. Di KIB saja, sampai sekarang belum mampu menentukan capres-cawapres. Meski KIB adalah koalisi yang lahir paling awal. Begitu juga dengan KIR. Di KIR, capresnya Prabowo. Tapi, jika Prabowo mengambil cawapres selain Muhaimin Iskandar (Cak Imin), maka KIR bubar. Sementara Prabowo gak mau didampingi Cak Imin.
Dua koalisi yang ingin digabungkan, masing-masing kesulitan untuk menentukan pasangan capres-cawapres. Apalagi jika digabungkan, maka akan semakin sulit. Persoalan akan semakin kompleks.
Upaya penggabungan dua koalisi menjadi koalisi besar seperti kawin paksa. Ada pihak yang di mata publik terlibat memaksa koalisi ini terbentuk. Menentang, kasus ketumnya muncul. Entah akan jadi negara macam Indonesia ini jika hukum dijadikan sandera terhadap ketum-ketum partai. Ironis!
Setelah ketum lima partai ini diundang oleh Presiden Jokowi ke istana, maka wacana koalisi besar makin santer. Jokowi cukup bilang: "cocok". Ini sinyal kuat bahwa Jokowi memang menginginkan koalisi besar terbentuk. Kenapa presiden ikut campur soal pencapresan? Bukankah ini justru resisten bagi terselenggarannya pemilu secara jurdil? Memang sih, sebaiknya presiden Jokowi dengan jiwa kenegarawanannya tidak perlu ikut campur terkait urusan pencapresan. Ini akan menjaga kewibawaan Jokowi sebagai kepala negara. Jika kepala negara netral, Indonesia aman dan nyaman. Hilang semua bentuk keterbelahan dan kegaduhan.
Atas kawin paksa ini, PKB membaca bahwa koalisi besar akan semakin kesulitan menentukan siapa capres dan siapa cawapres. Tarik ulurnya akan kencang. Cenderung babaliut dan mbulet.
Setelah PKB menyatakan pendapatnya, muncul kembali kasus "Kardus Durian". Kasus yang dikait-kaitkan dengan nama ketum PKB Cak Imin itu diungkap kembali. Padahal, kasus ini terjadi di tahun 2012. Sudah 12 tahun lalu. Kalau memang Cak Imin, cucu pendiri NU ini terlibat, kenapa tidak dituntaskan dari dulu? Inilah yang membuat publik menyimpulkan adanya penyanderaan kasus. Dan tidak hanya Cak Imin. Tapi, ada beberapa ketum partai lain yang tersandera dengab kasus yang sengaja dibiarkan. Tidak dituntaskan. Kasihan! Kasihan ketum-ketum partai itu. Kasihan partainya. Yang pasti, kasihan bangsa ini.
Ketika perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI melakukan gugatan pra-peradilan atas penghentian kasus kardus durian oleh KPK, maka KPK menjawab bahwa kasus ini tidak berhenti. KPK bahkan mengatakan bahwa nama Cak Imin disebut dalam persidangan. Pertanyaannya: kalau memang nama Cak Imin disebut dalam persidangan, kenapa Cak Imin tidak diproses dari dulu? Sudah 12 tahun kasus ini didiamkan, dan hanya muncul ketika Cak Imin diaggap tidak sejalan pilihan politiknya dengan penguasa. Begitulah bacaan publik.
Wajar jika masyarakat kemudian mengasumsikan bahwa KPK terlibat politik praktis. KPK, selain menjadi lembaga negara, dianggap pula mengambil peran sebagai lembaga penguasa.
Apalagi jika dikaitkan dengan kasus Formula E. Publik menangkap kesan yang begitu kuat jika KPK bernafsu ingin mentersangkakan Anies. Pemecatan terhadap tiga nama pegawai KPK, yaitu Fitroh, Karyoto dan Endar yang dianggap memegang prinsip dan bekerja secara profesional untuk tidak mentersangkakan siapapun yang tidak adanya alat bukti cukup, termasuk Anies. Dalam kasus Formula E, sudah delapan kali gelar perkara. Rekor, delapan kali gelar perkara di KPK terkait Formula E, tidak ditemukan alat bukti. Kok ngotot banget, kata publik. Lalu, tiga orang penentu itu mau disingkirkan. Ngeri!
Sejak revisi UU KPK, lembaga antirusuah ini punya kesan tidak netral lagi. Lebih menjadi lembaga yang melayani kepentingan politik pihak tertentu. Di mata publik, KPK dianggap telah terlibat jauh dalam penyanderaan elit politik dan memburu mereka yang tidak sejalan dengan penguasa untuk segera dijadikan tersangka. Sudah saatnya KPK dievaluasi dengan mengganti oknum pemimpinnya yang sudah off side.
Los Angeles, California USA, 4 April 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa