PENELITIAN - Di dunia ideal, hasil riset perguruan tinggi bak kilat yang langsung menyambar industri dan kehidupan masyarakat. Namun, realitanya, hasil riset kampus seringkali seperti api unggun kecil yang nyalanya tak sampai terlihat di pasar. Kenapa? Inilah cerita tentang pergulatan, peluang, dan hambatan yang dihadapi para akademisi dan peneliti dalam membawa karya mereka keluar dari lab.
Tantangan: Jembatan yang Hilang Antara Kampus dan Industri
Bayangkan seorang dosen atau mahasiswa yang berhasil menemukan solusi inovatif untuk permasalahan besar. Misalnya, sebuah teknologi yang bisa mengubah limbah plastik menjadi bahan bakar bersih. Tetapi apa daya, untuk mengubahnya dari sekadar ide atau prototipe menjadi produk komersial, diperlukan sebuah “jembatan” antara kampus dan dunia industri—jembatan yang sayangnya, masih sering bolong-bolong.
Jembatan ini, sesungguhnya, bukan sekadar dana atau fasilitas. Ini soal kolaborasi, pemahaman pasar, dan strategi komersialisasi yang lebih mendalam. Para peneliti mungkin ahli di bidang mereka, tapi tidak semua paham akan lika-liku bisnis, branding, atau lisensi paten. Di sinilah celah itu menganga lebar. Riset brilian akhirnya berhenti di ruang sidang, bukan ruang penjualan.
Baca juga:
Ozkan, sahabat dari Istanbul
|
Peluang: Kebijakan Hilirisasi yang Menjanjikan
Namun, jangan pesimis dulu. Kini pemerintah dan banyak perguruan tinggi mulai sadar akan pentingnya hilirisasi hasil riset. Lewat kebijakan-kebijakan baru, insentif pajak untuk riset terapan, dan program inkubator startup, perlahan ada upaya nyata untuk membuat karya ilmiah kampus lebih dekat dengan masyarakat. Ini adalah peluang besar, terutama di era digital saat ini di mana berbagai teknologi sangat terbuka untuk disebarluaskan.
Banyak perguruan tinggi juga mulai menggandeng perusahaan swasta untuk bersama-sama menjalankan program hilirisasi. Inilah bentuk sinergi yang ideal—perusahaan mendukung riset, sementara perguruan tinggi menyediakan intelektual dan inovasi segar. Hasilnya? Produk-produk baru yang lahir dari hasil riset bisa lebih mudah masuk ke pasar. Ini adalah ladang emas bagi mahasiswa, dosen, dan tentu saja industri yang akan menikmati manfaatnya.
Hambatan: Birokrasi yang Rumit dan Mentalitas Akademis
Baca juga:
Panggil Namaku 'Siti'
|
Namun, tak bisa dipungkiri, birokrasi kampus yang kaku sering menjadi hambatan yang nyata. Proses administrasi yang berbelit, regulasi internal yang ketat, dan jalur birokrasi yang panjang kerap membuat para peneliti kehabisan tenaga sebelum sempat melihat karya mereka membuahkan hasil di pasar. Selain itu, mentalitas "riset untuk ilmu" yang masih kuat di kalangan akademisi juga bisa menjadi rintangan. Bagi sebagian, mengubah ilmu menjadi produk komersial dianggap "terlalu duniawi."
Perlahan, paradigma ini perlu diubah. Bagaimana jika melihat hilirisasi sebagai cara untuk membuktikan bahwa ilmu bukan hanya teori di atas kertas, melainkan solusi nyata untuk masyarakat? Bila para akademisi mulai membuka diri untuk berpikir sebagai pengusaha, bisa jadi hasil riset yang selama ini “mengendap” di kampus bisa “menggebrak” pasar.
Keberanian untuk Berinovasi di Dunia Nyata
Jadi, apakah semua penelitian di kampus akan berhasil mencapai hilir, menjadi produk yang nyata? Belum tentu. Namun, dengan pola pikir yang lebih terbuka, kolaborasi dengan industri, serta dukungan dari pemerintah, banyak riset berpotensi menjadi inovasi yang memajukan bangsa. Pertanyaannya, beranikah kita membuat jembatan itu?
HhhJakarta, 07 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi